KIRIMI AKU BUNGA, MAWAR! -------------------------------------------------------------------------------- Oleh: Wangsa Nestapa -------------------------------------------------------------------------------- Catcher: Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. -------------------------------------------------------------------------------- "Kenangan tinggallah kenangan. Tak ada yang berarti selain duka dan air mata ataupun tawa bahagia. Kalau tidak kedua-duanya, bukan kenangan namanya." Aku bergumam dikelilingi cahaya yang berpijar mesra, menemaniku menuju suatu tempat terindah yang belum pernah kusinggahi. *** Beberapa saat lalu.... Hujan sempat membasahi tiap ruas jalan di sudut kota Serang. Banyak genangan air yang tercipta bersamanya, membuat jalan tampak begitu lengang dilalui kendaraan. Para pengemudi angkutan umum maupun pribadi, seolah begitu sungkan memalang-lintangkan kendaraannya. Lampu-lampu penghias jalan sudah mulai dinyalakan. Berwarna-warni. Lengkap dengan hiasan asmaul husna yang terpampang indah di bawahnya. Manis kelihatannya. Aku duduk seraya menikmati secangkir kopi hangat di bawah redupnya cahaya lampu kafé Meirasco. Sebuah kafé kecil yang terletak tak jauh dari perempatan jalan menuju Desa Ciloang. Meski kafé ini kecil, bukan berarti kecil pula pengunjungnya. Banyak muda-mudi yang datang kemari bersama pasangannya atau yang masih single sekedar duduk-duduk menikmati kehangatan suasana yang disajikan di tempat ini. Mulai dari anak SMP, SMA, hingga anak kuliahan, ramai singgah kemari. Walau terkadang, ada juga om-om dan tante-tante yang masih memiliki jiwa muda serta ingin kembali disebut remaja, mampir ke tempat ini. Letaknya yang strategis, musik yang melankolis, serta keapikan tatanan ruang kafé, sungguh terasa begitu harmonis dengan hati para pengunjung. Aku berbicara seperti ini, bukan karena aku dekat dengan si empunya tempat, melainkan sebagai sebuah ungkapan nurani yang menjalar dalam luar ruang sadar diriku. Hampir setiap hari, saat semburat jingga di langit menyambut pelita malam, aku berada di sini. Sekedar menikmati keestetisan kota, sekaligus menemui gadis pujaanku ditemani secangkir kopi panas yang biasa tersaji sebagai menu favoritku. Untuk yang lainnya…. tidak! Terlalu berat untuk isi kantongku. Meski sebenarnya, aku bisa mendapatkannya dengan cara gratisan. Karena pemilik kafé terlalu bersikap baik kepadaku. Namanya Mawar. Dia kekasihku. Meski begitu, harga diriku lebih mahal ketimbang secangkir kopi ataupun sajian lainnya untuk kuberikan kepada kekasihku. "Hai…!" Suara seseorang dari belakang membuatku panik seraya menepuk bahu kanan-kiriku dengan kedua tangannya. Aku menoleh, memelintirkan kepala untuk kemudian menemukan sosok yang sempat membuat jantungku blingsatan sebelumnya. "Oo… hei…!" teriakku histeris kala kulihat seorang cewek berdiri seraya tersenyum lebar ke arahku. Begitu cantik. Dengan rambut sanggul sederhana, ia terlihat sedikit sporty. Ditambah lagi kaos merah yang dikenakannya seperti menambah kecerahan di wajahnya. Ia mengecup pipi kananku. Emm.... "Sudah lama?" tanyanya kemudian. Aku mengarahkan pandangan mataku ke arahnya. "Terlalu sibuk ya? Sampai kedatangan gue aja lo enggak tahu?" balasku bertanya. Sesaat, ia balas menatapku. Dan tak lama kemudian ia pun mengangguk dengan kedua sudut bibir turun ke bawah. Aku pun tersenyum melihatnya. "Sorry deh…" kata Mawar. Aku cuma tertawa getir mendengar ia berkata seperti itu. "Ah, loe ini, War…. Mawar! Lagian, kenapa juga elo nanya kayak gitu. Lagak elo tuh, kayak enggak tahu gue aja," ujarku seraya menggeser letak cangkir kopi. "Gue kan tipe cowok yang enggak suka menghitung waktu. Apalagi untuk bertemu dengan sesuatu yang mampu membuat hati gue berlagak aneh. Seperti diri elo!" Kusentuh hidungnya yang bangir dengan jari telunjukku. Ia kembali tersenyum. Kali ini, dengan mengedikkan bahunya. Kuseruput kembali cairan hitam hangat dalam cangkir yang tergeletak di hadapanku. Hemmm… harum. Aroma kopi lekat betul tercium. Mawar kembali membantu dua orang kawannya melayani para pengunjung. Begitu bersemangat dia. Masih muda, namun bertekad bulat memiliki usaha dan penghasilan pribadi. Padahal aku tahu, nama kedua orang tuanya sering terpampang di media massa. Ayahnya adalah pemimpin di salah satu koran lokal daerah ini. Sedang ibunya, anggota calon legislatif daerah. Kalau bicara uang, jangan ditanya. Tapi ia keukeuh ingin bekerja. Setelah aku pikir, coba... mana ada anak muda mandiri seperti dia? Sebelumnya, aku enggak habis pikir kenapa dia berlagak lain dari anak-anak kaum borjuis lainnya. "Gue enggak mau jadi anak mami, Zar! Yang bentar-bentar minta ini, diturutin. Minta itu, dilakonin. Yang menentukan masa depan gue bukan bokap dan nyokap gue atau siapa pun, Zar! Melainkan Tuhan dan diri gue sendiri. Dan gue mesti mulai dari sekarang. Kalau enggak, kapan lagi coba? Gue enggak mau masa muda yang gue jalanin terbuang sia-sia dan enggak jelas juntrungannya!" Demikian yang Mawar utarakan kepadaku dahulu, saat kutanyakan alasannya bekerja setelah jam sekolah, di kafé ini. Mendengarnya, aku cuma tersenyum kagum padanya. Dan ternyata, hal itulah yang membuat aku merasa jatuh cinta pada dirinya. Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. Namun, rupanya hal semacam ini yang membuat aku semakin jatuh terperosok ke dalam jurang asmara yang dimilikinya. "Tuhan, jadikan aku kekasihnya!" pekikku suatu ketika. Beruntung, Tuhan mau mendengarkan doa jalanan yang kudendangkan. Hingga kini, hubunganku dengannya tetap langgeng. Sengaja, aku tak menginginkan sedikit pun polemik tumbuh di antara kami yang bisa membuat hubungan kami enggak jelas nantinya. Kami ingin disebut pasangan harmonis. Lagi pula aku sadar, cewek kayak Mawar, enggak banyak di pasaran. Seribu banding satu statistiknya. Sedang kalau memakai bahasa istilah, layaknya sekuntum mawar yang tumbuh sembunyi di balik rimbunan batang perdu. Seperti itu kiranya. Mawar bilang, dia ingin mengajakku main ke rumah. Dikenalkan pada papa dan mamanya. Deg… mendengarnya, aku langsung merasa seperti ada sebilah balok yang baru saja menghantam tengkorak kepalaku. Aku langsung limbung dan merasa begitu sulit untuk mengeluarkan kata dari dalam mulut. Lidah ini mendadak terasa kelu. Di pikiranku terbersit kalau orang tua Mawar nantinya hanya akan menjadi onggokan ketakutan yang tak pernah kuharapkan sebelumnya. Aku tak ingin mereka kemudian berpikir agar Mawar melepaskan diri dari genggaman erat tanganku setelah mengetahui siapa diriku. Pemuda urakan. Sekolah bandel. Secara logika, aku sadar, sebagai seorang penulis cerita di majalah remaja, mustahil bisa menyaingi gaji mereka. Padahal aku yakin, orang tua sekarang kebanyakan menginginkan anaknya memiliki pendapatan minimal setara dengan mereka. Maksimal, ya lebih! Dan aku, ketimbang menulis, lebih banyak mainnya. Dalam jangka sebulan, paling banter aku jebol tiga tulisan. Sedang kalau lagi hoki bisa lima hingga enam tulisan yang gol. Namun, aku yakin, punya banyak uang bukanlah segala. Toh Mawar juga enggak begitu menghiraukan nasibku yang satu ini. Kalau cinta sudah bicara, jangan ditanya mau ke mana! Begitu pepatahnya. Hidup apa adanya, adalah terbaik buat kita. Aku mengangguk ke arah Mawar tanda setuju untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Kali nanti. Untuk kesekian kalinya, kembali kuteguk cairan kopi. Ah… terasa makin nikmat di tenggorokan. Kurogoh isi tas dan kukeluarkan majalah remaja terbaru yang sempat kubeli tadi sebelum aku singgah di tempat ini. Salah satu cerpennya memuat tulisanku. Judulnya, Kenanglah Diriku. Dan di akhir tulisan, tertera: Buat Mawar, aku minta bunga hasil tangkaranmu donk! Segera, setelah ia datang dan duduk bersanding di sisiku, kusodorkan karyaku tersebut. Dan dari bibir tipisnya, ia langsung menyeloroh, begitu selesai membaca tulisanku. "Iya deh…! Nanti Mawar kirimin karangan bunga duka cita langsung ke depan pintu kamar elo!" ucapnya diiringi tawa renyah dari dalam mulutnya. Aku diam mendengarnya. "Enggak kok, Zar! Cuma bercanda. Enggak apa-apa, kan?" lagaknya manja mencubit daguku. "Emangnya, elo mau mati? Enggak, kan!" lanjutnya masih tertawa. "Ssst…." Aku menutup bibirnya yang ternganga dengan salah satu jariku. Mataku bulat menatapnya. Mawar cuma terpana. "Gue keceplosan, Zar! Sorry…" Kulihat mata Mawar berkaca-kaca. Kelopak matanya tiba-tiba saja tergenang. Kupeluk ia erat. Ia balas mendekapku. Hangat. Malam semakin larut. Kafé pun telah tutup. Mawar mesti istirahat untuk persiapan kuliah besok. Aku mengantarnya sampai pintu kendaraan yang akan membawanya sampai depan rumahnya. Kulepas genggaman tangannya. Perlahan, aku mendesah mesra di dekat lubang telinganya. "Jangan lupakan bunga untukku, Sayang..." Ia tersenyum lebar menatapku. Kulambaikan tangan ke arahnya. Mobil pun hilang jauh ditelan tikungan depan. *** Tiba di Cilegon.... Kuhela nafasku sejenak. Sedikit kugeser kaca jendela mikrolet. Dan tiba-tiba saja, kendaraan yang aku tumpangi oleng. Lajunya semakin kencang. Dua orang wanita berpakaian seksi yang duduk di depanku berteriak-teriak tak karuan. Matanya awas menatap ke depan. Sementara yang satu, berpegangan lengan kawannya. "Awas, Pak Sopir!" teriak salah seorang bapak mengingatkan pak sopir. Dan, tak lama kemudian... Brak! Aku mendengar suara benda beradu keras. Seperti suara ledakan. Tubuhku terpelanting jauh ke samping, menghantam dinding pintu mikrolet. Gelap. Sayup-sayup terdengar ada orang berteriak, "Tabrakan euy!" Lalu hening. Aku bangkit dan menengadah. Kulihat tubuhku bersimbah darah. "Ucapan elo menjadi nyata Mawar!" batinku. Hingga akhirnya, cahaya-cahaya itu datang menggandengku. Aku juga mencium bau wangi yang menebar di sekelilingku. Cahaya itu hangat, kadang gelap, kadang terang. Seakan membentuk bola-bola cahaya dan kemudian membawa aku ke ketinggian. Tubuhku melayang. Makin lama, makin cepat. Seperti cahaya meteor yang sering kusaksikan bersama Mawar di tepi pantai Selat Sunda dahulu. Melesat ke ujung langit. Semakin tinggi. Lalu mengecil. Sunyi. Hilang ditelan kelam. Gelap. "Segera, aku tunggu karangan bungamu… kekasihku, Mawar!" aku kembali bergumam untuk kesekian kalinya dan... untuk terakhir kalinya. (Didedikasikan buat Echy di BBS. Janjinya sudah terlunasi bukan?) Wangsa Nestapa, lahir di Serang, 17 Agustus '85. Arbituren MAN 2 Serang 2002-2003. Kini tinggal di Cilegon. Membuka galeri Lukisan pasir GialloBluart di BBS. Tulisannya tersebar di media massa lokal : Fajar Banten dan Radar Banten. Kini aktif di Pustaka Loka Rumah Dunia (PRD) serta Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang. Cerpennya tergabung dalam buku Antologi cerpen "Kacamata Sidik". Adress : Jl. Ketumbar Blok B1 No.6 BBS II Ciwaduk Cilegon 42415 e- mail : jibal_duncan2001@yahoo.com (AnekaYess: Edisi ke-7 Tahun 2004, 19 Maret - 1 April 2004)